Apakah Ideologi itu?
Pertanyaan di atas bukan merupakan suatu pertanyaan yang dapat dijawab secara gampang. Jorge Larrain (1984), misalnya, menyebut bahwa ideologi barangkali merupakan satu dari sekian konsep dalam ilmu-ilmu sosial yang mengundang penafsiran yang berlainan dan sulit untuk dipahami. Selain karena perbedaan pandangan di antara para pemikir yang menyuguhkan gagasan tentang ideologi, persoalan ini juga dipengaruhi oleh faktor yang lebih bersifat politis. Yaitu bahwa di antara masing-masing pengusung ideologi ada upaya untuk menempelkan stigma terhadap ideologi yang berlawanan. Para pengusung liberalisme, misalnya, memandang komunisme sebagai ideologi (secara negatif) sehingga mereka enggan untuk disejajarkan dengan para pengusung komunisme – demikian pula sebaliknya.
Antoine Destutt de Tracy (1754-1836) banyak disebut sebagai orang yang pada awalnya memopulerkan istilah ini pada 1796. de Tracy memaknai idéologie sebagai “ilmu tentang gagasan”, suatu idea-ology. Dia percaya bahwa mengupas akar suatu gagasan secara objektif adalah sesuatu yang mungkin, hal inilah yang hendak dilakukannya dengan idéologie tersebut. Jika gagasan ini berkembang, niscaya ideologi akan menjadi ‘ratu ilmu-ilmu’ – mengingat bahwa semua penyelidikan dalam ilmu pengetahuan berbasiskan pada gagasan (ide). Pengembangan ideologi sebagai ‘ilmu tentang gagasan’ secara sistematis dikemukakan oleh de Tracy melalui empat seri bukunya berjudul Elements of Ideology yang diterbitkan antara 1801 dan 1815.
Dari sini kita dapat menarik suatu pertanyaan tentang hambatan-hambatan yang menghalangi kemunculan suatu pengetahuan yang secara objektif benar. Langkah ini akan membawa kita kepada gagasan Francis Bacon (1561-1626). Bacon berpandangan bahwa dalam upaya untuk memperoleh pengetahuan, orang sering bertolak dari rasionalisasi yang kurang kuat sebagai dasar. Hasilnya, kemudian, hanyalah anggapan yang gegabah yang secara sepihak dimengerti sebagai pengetahuan yang benar. Agar terhindar dari kekeliruan yang demikian, menurut Bacon, orang harus melepaskan diri dari godaan ideologi. Bacon adalah seorang yang anti-idola dalam konteks di atas. Pada masa berikutnya, pengaruh gagasannya dapat dirunut dalam pemikiran filsafat abad ke- 17 dan ke-18 – terutama dalam empirisme dan positivisme.
Dalam kehidupan politik penggunaan istilah ideologi tersebut menjadi bergeser dan semakin kompleks. Napoleon Bonaparte (1769-1821), yang memerintah Prancis setelah keberhasilan kudeta pada 1799, memberi konotasi yang negatif terhadap ideologi. Napoleon yang memerintah secara lalim, tidak dapat menerima penentangan dari kawan-kawannya atas perilaku kekuasaannya. Dalam arti yang merendahkan, Napoleon menyebut mereka sebagai ‘ideologists’; para ideolog. Para ideolog itu adalah intelektual-intelektual yang tidak realistis dan doktriner, mereka tidak paham praktik politik – demikian kata Napoleon.
Kemunculan ideologi sebagai salah satu istilah kunci dalam politik dapat dirunut dari tulisan Karl Marx (1818-1883), terutama dari salah satu karya awalnya The German Ideology yang diterbitkan pada 1846. Dalam pandangan Marx, ideologi merupakan manifestasi kekuasaan kelas yang berkuasa. Ideologi digunakan untuk menyamarkan praktik eksploitasi yang dilakukan oleh kelas penguasa atas kelas proletar (pekerja), sehingga kelas proletar gagal untuk menyadari bahwa sesungguhnya mereka telah ditindas. Marx sendiri memandang gagasannya sebagai pemikiran ilmiah (scientific), sebab ia disusun secara akurat untuk menelanjangi bekerjanya sejarah dan masyarakat.
Jika Marx memandang liberalisme dan konservatisme sebagai ideologi, sebaliknya golongan liberal menyebut fasisme dan komunisme sebagai ideologi sembari menolak penyebutan yang sama untuk gagasan kebebasan yang mereka anut. Pendeknya, mereka emoh dengan sebutan ideologi yang dianggap memiliki konotasi negatif. Sampai di sini penggunaan istilah ideologi menjadi semakin rumit.
Frank Bealy (1999) menyebut empat macam konotasi yang merujuk pada penggunaan istilah ideologi secara berbeda. Pertama, ideologi berarti sistem pemikiran universal yang menjelaskan kondisi manusia, suatu teori tentang proses sejarah yang secara pasti akan mengarah pada masa depan yang lebih baik. Dalam pengertian ini, kita mungkin akrab dengan istilah fasisme dan komunisme. Kedua, ideologi kadang digunakan untuk menjelaskan sistem kepercayaan individu-individu. Suatu ‘mind-sets’, yang sering dipersamakan dengan pandangan tentang dunia. Ketiga, ialah apa yang dipergunakan oleh sosiolog asal Jerman Karl Mannheim. Mannheim berpendapat bahwa orang akan dipengaruhi oleh bias lingkungan sosial dan budaya serta kepentingan mereka sendiri. Kelompok berkuasa dapat terserap ke dalam kepentingan mereka sendiri sehingga mereka tidak mampu membuat suatu keputusan rasional. Mannheim menyebut ilusi semacam ini sebagai ideologi. Keempat, ideologi merupakan suatu kumpulan gagasan, suatu kelompok konsep. Penggunaan ini relatif longgar menyangkut pandangan hidup, suatu perasaan tentang budaya, masyarakat, dan politik. Akibatnya, bukan hanya konservatisme atau liberalisme saja yang dipandang sebagai ideologi, demokrasi pun akan dikelompokkan dalam kategori yang sama.
Sejak 1960an ideologi memperoleh pengakuan luas dan disesuaikan dengan kebutuhan analisis sosial dan politik, sehingga ideologi menjadi konsep yang relatif netral dan objektif. Ideologi dapat dilekatkan pada berbagai ‘isme’, seperti, sosialisme, libertarianisme, anarkisme, dan sebagainya. Suatu ideologi politik, pada dasarnya, menekankan bagaimana mengalokasikan kekuasaan dan untuk tujuan apa kekuasaan itu sepatutnya digunakan. Ia berintikan seperangkat ideal, prinsip, doktrin, lembaga, kelas, serta menjelaskan bagaimana masyarakat seharusnya berjalan dan menawarkan suatu bentuk politik dan budaya tertentu sebagai dasar tatanan sosial. Dalam kerangka ini, ideologi dapat dimaknai sebagai sistem pemikiran yang berorientasi pada tindakan.
Ragam Ideologi Politik
Menetapkan macam-macam ideologi berdasarkan suatu basis pandangan tertentu dapat menyesatkan. Seringkali ideologi merupakan suatu sistem gagasan yang kompleks, melingkupi areal kehidupan yang luas. Itulah sebabnya basis pandangan suatu ideologi kadang bersinggungan dengan basis pandangan ideologi yang lain. Namun, perbedaan di antara keduanya jelas ada – meski perbedaan itu tidak bersifat menyeluruh.
Di bawah ini adalah pengelompokan sederhana berbagai ideologi yang pernah hidup dalam sejarah manusia. Pengelompokan ini, tentu saja, tidak bisa secara tepat menggambarkan apa yang sesungguhnya menjadi hakikat ideologi tertentu. Tetapi, pengelompokan ini dapat membantu sebagai pengantar kepada pemahaman yang lebih lanjut.
1) Ideologi yang menekankan perjuangan kelas:
• Sosialisme,
• Komunisme,
• Marxisme.
2) Ideologi yang menekankan kebebasan pribadi:
• Liberalisme,
• Libertarianisme.
3) Ideologi yang menekankan kebersamaan:
• Sosialisme,
• Sosialdemokrasi,
• Komunisme,
• Populisme.
4) Ideologi yang menekankan kesukuan atau kebangsaan:
• Nasionalisme,
• Regionalisme,
• Fasisme,
• Nazisme,
• Rasisme.
5) Ideologi yang menekankan tradisi:
• Konservatisme.
6) Ideologi yang menekankan isu pokok tertentu:
• Feminisme (perempuan),
• Maskulinisme (lelaki),
• Ekologisme (lingkungan hidup).
Selanjutnya, baiklah untuk dikemukakan gagasan-gagasan pokok yang menjadi ciri beberapa ideologi. Gagasan-gagasan penting dalam liberalisme adalah hal-hal tentang pribadi, kebebasan, nalar, keadilan, dan toleransi. Kontras dengan liberalisme, sosialisme menonjolkan gagasan-gagasan tentang komunitas, kesetaraan, kerjasama, pemenuhan kebutuhan, dan kepemilikan bersama. Sementara anarkisme yang merupakan pengusung ideologi anti-negara mendasarkan pada gagasan-gagasan tatanan alami, anti-negara, dan kebebasan ekonomi. Ideologi yang juga ekstrem adalah fasisme yang mendasarkan pada gagasan-gagasan nasionalisme yang militan, kepemimpinan dan elitisme, perjuangan, dan anti-rasionalisme.
Secara sederhana perbedaan pandangan di antara ideologi-ideologi politik dapat diuraikan sebagai berikut.
Tentang Kebebasan
• Kaum liberal memprioritaskan kebasan sebagai nilai yang tertinggi bagi setiap pribadi.
• Kaum konservatif menekankan pada tanggung jawab dan memandang kebebasan negatif sebagai ancaman bagi tatanan masyarakat.
• Kaum sosialis umumnya memandang kebebasan secara positif sebagai langkah menuju pemenuhan diri secara mandiri.
• Kaum anarkis menganggap kebebasan sebagai nilai mutlak yang tidak mungkin didamaikan dengan kewenangan politik dalam bentuk apa pun.
• Kaum fasis menolak segala bentuk kebebasan pribadi dan menganggapnya sebagai omong kosong.
Tentang Masyarakat
• Kaum liberal memandang masyarakat bukan sebagai suatu kesatuan pada dirinya sendiri, melainkan sebagai sekumpulan individu.
• Kaum konservatif memandang masyarakat sebagai suatu organisme, sebuah kesatuan yang diikat oleh tradisi, kewenangan, dan moralitas bersama.
• Kaum sosialis memahami masyarakat dalam arti kekuatan kelas yang tidak setara, dengan keberjarakan dalam hal hak milik dan ekonomi.
• Kaum anarkis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh ketiadaan regulasi dan harmoni yang alami.
• Kaum fasis menganggap masyarakat sebagai kesatuan organik yang menyeluruh, kebersamaan lebih diakui ketimbang keberadaan individu-individu.
Tentang Kesetaraan
• Kaum liberal percaya bahwa orang dilahirkan setara, dalam arti bahwa mereka memiliki nilai moral yang setara.
• Kaum konservatif memandang bahwa secara alami masyarakat itu hirarkis, dengan demikian penghapusan ketidaksetaraan tak akan terwujud.
• Kaum sosialis memandang kesetaraan sebagai nilai yang mendasar untuk memastikan kohesi sosial dan persaudaraan.
• Kaum anarkis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh ketiadaan regulasi dan harmoni yang alami.
• Kaum fasis percaya bahwa kehidupan manusia ditandai oleh ketidaksamaan yang radikal baik antara pemimpin dan yang dipimpin maupun antarnegara/ras.
Berakhirnya Ideologi dan Berakhirnya Sejarah (?)
Pergulatan politik – terutama di Eropa dan Amerika – tidak bisa dilepaskan dari pertarungan politik berbasis ideologi. Kita dapat merunut hal ini dari kejadian-kejadian penting sebelum dan sesudah dua Perang Dunia.
Menggejalanya ketidakpastian sosial dan politik yang melanda Eropa pascaPerang Dunia I (1914-1918) menjadi pertanda kelahiran fasisme, terutama di Itali dan Jerman. Patrotisme yang menyala-nyala a la Mussolini dan Hitler itulah yang antara lain menjadi biang gejolak perang di seantero jagad. Keterlibatan kekuatan fasis Asia, yaitu Jepang, semakin memperbesar eskalasi perang hingga ke wilayah Asia-Pasifik. Kita tahu, kemudian, setelah berkecamuk sejak 1939, Perang Dunia II berakhir dengan tragis setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat pada 1945.
Berakhirnya kejayaan fasisme kemudian diikuti oleh naiknya dua kekuatan utama pemenang perang, yaitu Amerika Serikat yang mengusung liberalisme dan Uni Soviet yang mengusung komunisme. Uniknya, dua kekuatan yang bahu-membahu menggempur poros fasis ini justru kemudian berseteru sesudah mereka memenangi perang. Inilah suatu era yang disebut sebagai era Perang Dingin. Era yang tidak diwarnai oleh kecamuk perang yang dahsyat (sebagaimana Perang Dunia I dan II), tetapi diliputi oleh ketegangan yang terus menerus akibat perseteruan ideologis.
Pada 1960 Daniel Bell, seorang sosiolog dari Universitas Harvard, melemparkan sinyalemen yang mengejutkan melalui bukunya The End of Ideology. Pemikiran Bell didasarkan pada kenyataan bahwa setelah Perang Dunia II – terutama di Barat – politik diwarnai oleh kesepahaman umum di antara partai-partai politik besar dan tiadanya perdebatan atau pemilahan ideologis yang jelas. Ketidaksepahaman di antara partai-partai hanya menyangkut cara terbaik untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan materi. Dengan demikian politik telah direduksi dan berada di bawah persoalan ekonomi. Bagi Bell, ideologi pun kemudian menjadi tidak lagi relevan.
Gagasan Bell mengundang pertanyaan besar. Di Barat ideologi-ideologi besar, seperti liberalisme, sosialisme, dan konservatisme dalam bentuk klasiknya memang telah mengalami kemunduran. Tetapi, ideologi-ideologi itu berupaya untuk memoderasi diri sesuai dengan tuntutan masa. Setidaknya, terdapat kesepakatan umum masyarakat Barat untuk menerima demokrasi sosial sebagai bentuk ideologi baru. Tetapi, lagi-lagi persoalan krisis ekonomi menumbuhkan kesadaran baru. Pada 1970an berkembang neo-liberalisme yang mengedepankan gagasan ekonomi privat dan nilai-nilai keluarga. Ideologi ini pun kini memperoleh gugatan dari berbagai kalangan mengingat dampak negatif yang dihasilkannya. Yaitu antara lain melebarnya kesenjangan antara kalangan berpunya dan yang miskin, terpinggirkannya kepentingan publik, dan kerusakan lingkungan. Kritisisme inilah yang antara lain melahirkan Jalan Ketiga yang merupakan bentuk mutakhir dari demokrasi sosial.
Pada 1989, dunia juga dikejutkan oleh runtuhnya Tembok Berlin dan terpecahnya Uni Soviet menjadi beberapa negara baru merdeka. Keruntuhan ini dianggap oleh banyak kalangan sebagai kebangkrutan ideologi komunis. Zbigniew Brzezinski (1992) menyebut bahwa glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) yang digagas oleh Gorbachev telah meruntuhkan bangunan gagasan Leninisme yang berpijak terutama pada totalitarianisme dan teror. Pemusatan kekuasaan politik di tangan segelintir elite partai membuat birokrasi mampu mengendalikan hampir seluruh struktur masyarakat. Sementara, teror menggejala pada digunakannya kekerasan terorganisasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Pembaruan politik yang dilakukan kemudian meruntuhkan basis keabsahan politik rezim totaliter, sebab pembaruan tersebut kemudian memberi ruang yang lebih leluasa bagi partisipasi sosial (meski baru pada tataran yang minimal).
Melihat kenyataan ini, Francis Fukuyama (1992) dengan optimis menyebut era ini sebagai the end of history. Setelah bangkrutnya fasisme dan runtuhnya komunisme, kata Fukuyama, kini demokrasi liberal muncul sebagai pemenang di arena politik. Optimisme Fukuyama ini dipandang secara skeptis oleh Samuel Huntington. Bagi Huntington penerimaan universal demokrasi tidak serta merta menghindarkan konflik di dalam liberalisme, selain itu kemenangan satu ideologi tidak menyingkirkan kemungkinan munculnya ideologi baru. Huntington (1997) pun kemudian memunculkan tesis baru bahwa sumber utama konflik di dunia pascaPerang Dingin bukan lagi ideologi atau ekonomi. Budayalah yang akan menjadi faktor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan. Suatu benturan antarperadaban.
Sumber Bacaan:
Bealy, Frank, 1999, The Blackwell Dictionary of Political Science, Blackwell Publishers, Massachusetts.
Brzezinski, Zbigniew, 1992 (cet 2), Kegagalan Besar: Muncul dan Runtuhnya Komunisme dalam Abad Kedua Puluh (terj: Tjun Surjaman), Rosda Karya, Bandung.
Fukuyama, Francis, 1992, The End of History and the Last Man, Avon Books, New York.
Giddens, Anthony, 1999, The Third Way (terj: Ketut A Mahardika), Gramedia, Jakarta.
Heywood, Andrew, 1998 (2nd edition), Political Ideologies: an Introduction, MacMillan Press Ltd, London.
Huntington, Samuel P, 1997, The Clash of Civilizations: Remaking of World Order, Touchstone, New York.
Larrain, Jorge, 1984, The Concept of Ideology, Hutcinson & Co (publishers) Ltd, London.
Mannheim, Karl, 1998 (cet. 3), Ideologi dan Utopia (terj: F Budi Hardiman), Kanisius, Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar