Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi. Hal tersebut dapat dilihat dari keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan, dan juga pimpinan itu dalam menciptakan motivasi dalam diri setiap orang bawahan, kolega, maupun atasan pimpinan itu sendiri.
Gaya kepemimpinan
1. Otokratis. Kepemimpinan seperti ini menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya. Jadi kekuasaanlah yang sangat dominan diterapkan.
2. Demokrasi. Gaya ini ditandai adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Di bawah kepemimpinan demokratis cenderung bermoral tinggi dapat bekerjasama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri.
3. Gaya kepemimpinan kendali bebas. Pemimpin memberikan kekuasan penuh terhadap bawahan, struktur organisasi bersifat longgar dan pemimpin bersifat pasif.
Wewenang didefinisikan sebagai kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain; fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. Kewenangan atau wewenang dalam literatur berbahasa Inggris disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau bevoegdheid. Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.
Kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan (secara hukum) baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu. Dalam negara yang menganut sistem negara hukum, kekuasaan sering bersumber dari wewenang formal (formal authority) yang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada seseorang dalam suatu bidang tertentu. Definisi wewenang dalam kontek pembahasan ini yaitu mendahulukan perang dari pada wewenang atau kekuasaaan.
Jumat, 08 Oktober 2010
Konformitas dan Masyarakat
Pengertian Konformitas
Konformitas sosial adalah proses dimana tingkah laku seseorang terpengaruh atau dipengaruhi oleh orang lain di dalam suatu kelompok. Cara seseorang terpengaruh ada bermacam-macam, ada yang secara tidak langsung ataupun tidak langsung.
Sugiyarta (2002, h. 10) menerangkan bahwa konformitas merupakan hasil interaksi sosial dan proses sosial dalam kehidupan manusia bermasyarakat akan memunculkan perilaku-perilaku kesepakatan (conformitas) sebagai bentuk aturan bermain bersama.
Menurut Jhon W. Santrock (2003), konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka.
Robert A. Baron dan Don Byrne (2003) mengungkapkan bahwa konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
Faktor-faktor Konformitas
Hal-hal yang mempengaruhi adanya Konformitas
(David O. Sears, Jonathan L.Freedman, L.Anne Peplau , 1985)
a. Kurangnya Informasi
Seringkali orang lain mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui; dengan melakukan apa yang mereka lakukan, kita akan memeperoleh manfaat dari pengetahuan mereka.
b. Kepercayaan terhadap kelompok
Dalam situasi konformitas, individu mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang bertentangan. Individu ingin memberikan informasi yang tepat.
c. Kepercayaan diri yang lemah
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Cara individu menyatakan penilaian dan perilakunya juga berkaitan dengan konformitas. Umumnya, bila individu harus menyatakan responsnya secara terbuka, ia cenderung melakukan konformitas.
d. Rasa takut terhadap celaan sosial
Celaan sosial memberikan efek yang signifikan terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap manusia cenderung mengusahakan pesetujuan dan menghindari celaan kelompok dalam setiap tindakannya.
e. Rasa takut terhadap penyimpangan
Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial.
f. Kekompakan kelompok
Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antara individu dengan kelompoknya. Kekompakan yang tinggi = konformitas yang semakin tinggi.
g. Kesepakatan kelompok
Orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya.
h. Ukuran kelompok
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wilder (1977) disimpulkan bahwa pengaruh ukuran kelompok terhadap tingkat konformitas tidak terlalu besar, melainkan jumlah pendapat lepas (independent opinion) dari kelompok yang berbeda atau dari individu merupakan pengaruh utama.
i. Keterikatan pada penilaian bebas
Orang yang secara terbuka dan bersungguh-sungguh terikat suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap penilaian kelompok yang berlainan.
j. Keterikatan terhadap Non-Konformitas
Orang yang, karena satu dan lain hal, tidak menyesuaikan diri pada percobaan-percobaan awal cenderung terikat pada perilaku konformitas ini. Orang yang sejak awal menyesuaikan diri akan tetap terikat pada perilaku itu.
Ada beberapa faktor personal yang erat kaitannya dengan konformitas. Faktor tersebut adalah :
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Stabilitas emosional
4. Otoritarianisme
5. Kecerdasan
6. Motivasi
7. Harga diri
Aspek Konformitas
Aspek-aspek konformitas dibagi 3 menjadi negative, netral dan positif.
Konformitas sosial adalah proses dimana tingkah laku seseorang terpengaruh atau dipengaruhi oleh orang lain di dalam suatu kelompok. Cara seseorang terpengaruh ada bermacam-macam, ada yang secara tidak langsung ataupun tidak langsung.
Sugiyarta (2002, h. 10) menerangkan bahwa konformitas merupakan hasil interaksi sosial dan proses sosial dalam kehidupan manusia bermasyarakat akan memunculkan perilaku-perilaku kesepakatan (conformitas) sebagai bentuk aturan bermain bersama.
Menurut Jhon W. Santrock (2003), konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka.
Robert A. Baron dan Don Byrne (2003) mengungkapkan bahwa konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
Faktor-faktor Konformitas
Hal-hal yang mempengaruhi adanya Konformitas
(David O. Sears, Jonathan L.Freedman, L.Anne Peplau , 1985)
a. Kurangnya Informasi
Seringkali orang lain mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui; dengan melakukan apa yang mereka lakukan, kita akan memeperoleh manfaat dari pengetahuan mereka.
b. Kepercayaan terhadap kelompok
Dalam situasi konformitas, individu mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang bertentangan. Individu ingin memberikan informasi yang tepat.
c. Kepercayaan diri yang lemah
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Cara individu menyatakan penilaian dan perilakunya juga berkaitan dengan konformitas. Umumnya, bila individu harus menyatakan responsnya secara terbuka, ia cenderung melakukan konformitas.
d. Rasa takut terhadap celaan sosial
Celaan sosial memberikan efek yang signifikan terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap manusia cenderung mengusahakan pesetujuan dan menghindari celaan kelompok dalam setiap tindakannya.
e. Rasa takut terhadap penyimpangan
Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial.
f. Kekompakan kelompok
Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antara individu dengan kelompoknya. Kekompakan yang tinggi = konformitas yang semakin tinggi.
g. Kesepakatan kelompok
Orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya.
h. Ukuran kelompok
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wilder (1977) disimpulkan bahwa pengaruh ukuran kelompok terhadap tingkat konformitas tidak terlalu besar, melainkan jumlah pendapat lepas (independent opinion) dari kelompok yang berbeda atau dari individu merupakan pengaruh utama.
i. Keterikatan pada penilaian bebas
Orang yang secara terbuka dan bersungguh-sungguh terikat suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap penilaian kelompok yang berlainan.
j. Keterikatan terhadap Non-Konformitas
Orang yang, karena satu dan lain hal, tidak menyesuaikan diri pada percobaan-percobaan awal cenderung terikat pada perilaku konformitas ini. Orang yang sejak awal menyesuaikan diri akan tetap terikat pada perilaku itu.
Ada beberapa faktor personal yang erat kaitannya dengan konformitas. Faktor tersebut adalah :
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Stabilitas emosional
4. Otoritarianisme
5. Kecerdasan
6. Motivasi
7. Harga diri
Aspek Konformitas
Aspek-aspek konformitas dibagi 3 menjadi negative, netral dan positif.
Ideologi Politik
Apakah Ideologi itu?
Pertanyaan di atas bukan merupakan suatu pertanyaan yang dapat dijawab secara gampang. Jorge Larrain (1984), misalnya, menyebut bahwa ideologi barangkali merupakan satu dari sekian konsep dalam ilmu-ilmu sosial yang mengundang penafsiran yang berlainan dan sulit untuk dipahami. Selain karena perbedaan pandangan di antara para pemikir yang menyuguhkan gagasan tentang ideologi, persoalan ini juga dipengaruhi oleh faktor yang lebih bersifat politis. Yaitu bahwa di antara masing-masing pengusung ideologi ada upaya untuk menempelkan stigma terhadap ideologi yang berlawanan. Para pengusung liberalisme, misalnya, memandang komunisme sebagai ideologi (secara negatif) sehingga mereka enggan untuk disejajarkan dengan para pengusung komunisme – demikian pula sebaliknya.
Antoine Destutt de Tracy (1754-1836) banyak disebut sebagai orang yang pada awalnya memopulerkan istilah ini pada 1796. de Tracy memaknai idéologie sebagai “ilmu tentang gagasan”, suatu idea-ology. Dia percaya bahwa mengupas akar suatu gagasan secara objektif adalah sesuatu yang mungkin, hal inilah yang hendak dilakukannya dengan idéologie tersebut. Jika gagasan ini berkembang, niscaya ideologi akan menjadi ‘ratu ilmu-ilmu’ – mengingat bahwa semua penyelidikan dalam ilmu pengetahuan berbasiskan pada gagasan (ide). Pengembangan ideologi sebagai ‘ilmu tentang gagasan’ secara sistematis dikemukakan oleh de Tracy melalui empat seri bukunya berjudul Elements of Ideology yang diterbitkan antara 1801 dan 1815.
Dari sini kita dapat menarik suatu pertanyaan tentang hambatan-hambatan yang menghalangi kemunculan suatu pengetahuan yang secara objektif benar. Langkah ini akan membawa kita kepada gagasan Francis Bacon (1561-1626). Bacon berpandangan bahwa dalam upaya untuk memperoleh pengetahuan, orang sering bertolak dari rasionalisasi yang kurang kuat sebagai dasar. Hasilnya, kemudian, hanyalah anggapan yang gegabah yang secara sepihak dimengerti sebagai pengetahuan yang benar. Agar terhindar dari kekeliruan yang demikian, menurut Bacon, orang harus melepaskan diri dari godaan ideologi. Bacon adalah seorang yang anti-idola dalam konteks di atas. Pada masa berikutnya, pengaruh gagasannya dapat dirunut dalam pemikiran filsafat abad ke- 17 dan ke-18 – terutama dalam empirisme dan positivisme.
Dalam kehidupan politik penggunaan istilah ideologi tersebut menjadi bergeser dan semakin kompleks. Napoleon Bonaparte (1769-1821), yang memerintah Prancis setelah keberhasilan kudeta pada 1799, memberi konotasi yang negatif terhadap ideologi. Napoleon yang memerintah secara lalim, tidak dapat menerima penentangan dari kawan-kawannya atas perilaku kekuasaannya. Dalam arti yang merendahkan, Napoleon menyebut mereka sebagai ‘ideologists’; para ideolog. Para ideolog itu adalah intelektual-intelektual yang tidak realistis dan doktriner, mereka tidak paham praktik politik – demikian kata Napoleon.
Kemunculan ideologi sebagai salah satu istilah kunci dalam politik dapat dirunut dari tulisan Karl Marx (1818-1883), terutama dari salah satu karya awalnya The German Ideology yang diterbitkan pada 1846. Dalam pandangan Marx, ideologi merupakan manifestasi kekuasaan kelas yang berkuasa. Ideologi digunakan untuk menyamarkan praktik eksploitasi yang dilakukan oleh kelas penguasa atas kelas proletar (pekerja), sehingga kelas proletar gagal untuk menyadari bahwa sesungguhnya mereka telah ditindas. Marx sendiri memandang gagasannya sebagai pemikiran ilmiah (scientific), sebab ia disusun secara akurat untuk menelanjangi bekerjanya sejarah dan masyarakat.
Jika Marx memandang liberalisme dan konservatisme sebagai ideologi, sebaliknya golongan liberal menyebut fasisme dan komunisme sebagai ideologi sembari menolak penyebutan yang sama untuk gagasan kebebasan yang mereka anut. Pendeknya, mereka emoh dengan sebutan ideologi yang dianggap memiliki konotasi negatif. Sampai di sini penggunaan istilah ideologi menjadi semakin rumit.
Frank Bealy (1999) menyebut empat macam konotasi yang merujuk pada penggunaan istilah ideologi secara berbeda. Pertama, ideologi berarti sistem pemikiran universal yang menjelaskan kondisi manusia, suatu teori tentang proses sejarah yang secara pasti akan mengarah pada masa depan yang lebih baik. Dalam pengertian ini, kita mungkin akrab dengan istilah fasisme dan komunisme. Kedua, ideologi kadang digunakan untuk menjelaskan sistem kepercayaan individu-individu. Suatu ‘mind-sets’, yang sering dipersamakan dengan pandangan tentang dunia. Ketiga, ialah apa yang dipergunakan oleh sosiolog asal Jerman Karl Mannheim. Mannheim berpendapat bahwa orang akan dipengaruhi oleh bias lingkungan sosial dan budaya serta kepentingan mereka sendiri. Kelompok berkuasa dapat terserap ke dalam kepentingan mereka sendiri sehingga mereka tidak mampu membuat suatu keputusan rasional. Mannheim menyebut ilusi semacam ini sebagai ideologi. Keempat, ideologi merupakan suatu kumpulan gagasan, suatu kelompok konsep. Penggunaan ini relatif longgar menyangkut pandangan hidup, suatu perasaan tentang budaya, masyarakat, dan politik. Akibatnya, bukan hanya konservatisme atau liberalisme saja yang dipandang sebagai ideologi, demokrasi pun akan dikelompokkan dalam kategori yang sama.
Sejak 1960an ideologi memperoleh pengakuan luas dan disesuaikan dengan kebutuhan analisis sosial dan politik, sehingga ideologi menjadi konsep yang relatif netral dan objektif. Ideologi dapat dilekatkan pada berbagai ‘isme’, seperti, sosialisme, libertarianisme, anarkisme, dan sebagainya. Suatu ideologi politik, pada dasarnya, menekankan bagaimana mengalokasikan kekuasaan dan untuk tujuan apa kekuasaan itu sepatutnya digunakan. Ia berintikan seperangkat ideal, prinsip, doktrin, lembaga, kelas, serta menjelaskan bagaimana masyarakat seharusnya berjalan dan menawarkan suatu bentuk politik dan budaya tertentu sebagai dasar tatanan sosial. Dalam kerangka ini, ideologi dapat dimaknai sebagai sistem pemikiran yang berorientasi pada tindakan.
Ragam Ideologi Politik
Menetapkan macam-macam ideologi berdasarkan suatu basis pandangan tertentu dapat menyesatkan. Seringkali ideologi merupakan suatu sistem gagasan yang kompleks, melingkupi areal kehidupan yang luas. Itulah sebabnya basis pandangan suatu ideologi kadang bersinggungan dengan basis pandangan ideologi yang lain. Namun, perbedaan di antara keduanya jelas ada – meski perbedaan itu tidak bersifat menyeluruh.
Di bawah ini adalah pengelompokan sederhana berbagai ideologi yang pernah hidup dalam sejarah manusia. Pengelompokan ini, tentu saja, tidak bisa secara tepat menggambarkan apa yang sesungguhnya menjadi hakikat ideologi tertentu. Tetapi, pengelompokan ini dapat membantu sebagai pengantar kepada pemahaman yang lebih lanjut.
1) Ideologi yang menekankan perjuangan kelas:
• Sosialisme,
• Komunisme,
• Marxisme.
2) Ideologi yang menekankan kebebasan pribadi:
• Liberalisme,
• Libertarianisme.
3) Ideologi yang menekankan kebersamaan:
• Sosialisme,
• Sosialdemokrasi,
• Komunisme,
• Populisme.
4) Ideologi yang menekankan kesukuan atau kebangsaan:
• Nasionalisme,
• Regionalisme,
• Fasisme,
• Nazisme,
• Rasisme.
5) Ideologi yang menekankan tradisi:
• Konservatisme.
6) Ideologi yang menekankan isu pokok tertentu:
• Feminisme (perempuan),
• Maskulinisme (lelaki),
• Ekologisme (lingkungan hidup).
Selanjutnya, baiklah untuk dikemukakan gagasan-gagasan pokok yang menjadi ciri beberapa ideologi. Gagasan-gagasan penting dalam liberalisme adalah hal-hal tentang pribadi, kebebasan, nalar, keadilan, dan toleransi. Kontras dengan liberalisme, sosialisme menonjolkan gagasan-gagasan tentang komunitas, kesetaraan, kerjasama, pemenuhan kebutuhan, dan kepemilikan bersama. Sementara anarkisme yang merupakan pengusung ideologi anti-negara mendasarkan pada gagasan-gagasan tatanan alami, anti-negara, dan kebebasan ekonomi. Ideologi yang juga ekstrem adalah fasisme yang mendasarkan pada gagasan-gagasan nasionalisme yang militan, kepemimpinan dan elitisme, perjuangan, dan anti-rasionalisme.
Secara sederhana perbedaan pandangan di antara ideologi-ideologi politik dapat diuraikan sebagai berikut.
Tentang Kebebasan
• Kaum liberal memprioritaskan kebasan sebagai nilai yang tertinggi bagi setiap pribadi.
• Kaum konservatif menekankan pada tanggung jawab dan memandang kebebasan negatif sebagai ancaman bagi tatanan masyarakat.
• Kaum sosialis umumnya memandang kebebasan secara positif sebagai langkah menuju pemenuhan diri secara mandiri.
• Kaum anarkis menganggap kebebasan sebagai nilai mutlak yang tidak mungkin didamaikan dengan kewenangan politik dalam bentuk apa pun.
• Kaum fasis menolak segala bentuk kebebasan pribadi dan menganggapnya sebagai omong kosong.
Tentang Masyarakat
• Kaum liberal memandang masyarakat bukan sebagai suatu kesatuan pada dirinya sendiri, melainkan sebagai sekumpulan individu.
• Kaum konservatif memandang masyarakat sebagai suatu organisme, sebuah kesatuan yang diikat oleh tradisi, kewenangan, dan moralitas bersama.
• Kaum sosialis memahami masyarakat dalam arti kekuatan kelas yang tidak setara, dengan keberjarakan dalam hal hak milik dan ekonomi.
• Kaum anarkis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh ketiadaan regulasi dan harmoni yang alami.
• Kaum fasis menganggap masyarakat sebagai kesatuan organik yang menyeluruh, kebersamaan lebih diakui ketimbang keberadaan individu-individu.
Tentang Kesetaraan
• Kaum liberal percaya bahwa orang dilahirkan setara, dalam arti bahwa mereka memiliki nilai moral yang setara.
• Kaum konservatif memandang bahwa secara alami masyarakat itu hirarkis, dengan demikian penghapusan ketidaksetaraan tak akan terwujud.
• Kaum sosialis memandang kesetaraan sebagai nilai yang mendasar untuk memastikan kohesi sosial dan persaudaraan.
• Kaum anarkis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh ketiadaan regulasi dan harmoni yang alami.
• Kaum fasis percaya bahwa kehidupan manusia ditandai oleh ketidaksamaan yang radikal baik antara pemimpin dan yang dipimpin maupun antarnegara/ras.
Berakhirnya Ideologi dan Berakhirnya Sejarah (?)
Pergulatan politik – terutama di Eropa dan Amerika – tidak bisa dilepaskan dari pertarungan politik berbasis ideologi. Kita dapat merunut hal ini dari kejadian-kejadian penting sebelum dan sesudah dua Perang Dunia.
Menggejalanya ketidakpastian sosial dan politik yang melanda Eropa pascaPerang Dunia I (1914-1918) menjadi pertanda kelahiran fasisme, terutama di Itali dan Jerman. Patrotisme yang menyala-nyala a la Mussolini dan Hitler itulah yang antara lain menjadi biang gejolak perang di seantero jagad. Keterlibatan kekuatan fasis Asia, yaitu Jepang, semakin memperbesar eskalasi perang hingga ke wilayah Asia-Pasifik. Kita tahu, kemudian, setelah berkecamuk sejak 1939, Perang Dunia II berakhir dengan tragis setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat pada 1945.
Berakhirnya kejayaan fasisme kemudian diikuti oleh naiknya dua kekuatan utama pemenang perang, yaitu Amerika Serikat yang mengusung liberalisme dan Uni Soviet yang mengusung komunisme. Uniknya, dua kekuatan yang bahu-membahu menggempur poros fasis ini justru kemudian berseteru sesudah mereka memenangi perang. Inilah suatu era yang disebut sebagai era Perang Dingin. Era yang tidak diwarnai oleh kecamuk perang yang dahsyat (sebagaimana Perang Dunia I dan II), tetapi diliputi oleh ketegangan yang terus menerus akibat perseteruan ideologis.
Pada 1960 Daniel Bell, seorang sosiolog dari Universitas Harvard, melemparkan sinyalemen yang mengejutkan melalui bukunya The End of Ideology. Pemikiran Bell didasarkan pada kenyataan bahwa setelah Perang Dunia II – terutama di Barat – politik diwarnai oleh kesepahaman umum di antara partai-partai politik besar dan tiadanya perdebatan atau pemilahan ideologis yang jelas. Ketidaksepahaman di antara partai-partai hanya menyangkut cara terbaik untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan materi. Dengan demikian politik telah direduksi dan berada di bawah persoalan ekonomi. Bagi Bell, ideologi pun kemudian menjadi tidak lagi relevan.
Gagasan Bell mengundang pertanyaan besar. Di Barat ideologi-ideologi besar, seperti liberalisme, sosialisme, dan konservatisme dalam bentuk klasiknya memang telah mengalami kemunduran. Tetapi, ideologi-ideologi itu berupaya untuk memoderasi diri sesuai dengan tuntutan masa. Setidaknya, terdapat kesepakatan umum masyarakat Barat untuk menerima demokrasi sosial sebagai bentuk ideologi baru. Tetapi, lagi-lagi persoalan krisis ekonomi menumbuhkan kesadaran baru. Pada 1970an berkembang neo-liberalisme yang mengedepankan gagasan ekonomi privat dan nilai-nilai keluarga. Ideologi ini pun kini memperoleh gugatan dari berbagai kalangan mengingat dampak negatif yang dihasilkannya. Yaitu antara lain melebarnya kesenjangan antara kalangan berpunya dan yang miskin, terpinggirkannya kepentingan publik, dan kerusakan lingkungan. Kritisisme inilah yang antara lain melahirkan Jalan Ketiga yang merupakan bentuk mutakhir dari demokrasi sosial.
Pada 1989, dunia juga dikejutkan oleh runtuhnya Tembok Berlin dan terpecahnya Uni Soviet menjadi beberapa negara baru merdeka. Keruntuhan ini dianggap oleh banyak kalangan sebagai kebangkrutan ideologi komunis. Zbigniew Brzezinski (1992) menyebut bahwa glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) yang digagas oleh Gorbachev telah meruntuhkan bangunan gagasan Leninisme yang berpijak terutama pada totalitarianisme dan teror. Pemusatan kekuasaan politik di tangan segelintir elite partai membuat birokrasi mampu mengendalikan hampir seluruh struktur masyarakat. Sementara, teror menggejala pada digunakannya kekerasan terorganisasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Pembaruan politik yang dilakukan kemudian meruntuhkan basis keabsahan politik rezim totaliter, sebab pembaruan tersebut kemudian memberi ruang yang lebih leluasa bagi partisipasi sosial (meski baru pada tataran yang minimal).
Melihat kenyataan ini, Francis Fukuyama (1992) dengan optimis menyebut era ini sebagai the end of history. Setelah bangkrutnya fasisme dan runtuhnya komunisme, kata Fukuyama, kini demokrasi liberal muncul sebagai pemenang di arena politik. Optimisme Fukuyama ini dipandang secara skeptis oleh Samuel Huntington. Bagi Huntington penerimaan universal demokrasi tidak serta merta menghindarkan konflik di dalam liberalisme, selain itu kemenangan satu ideologi tidak menyingkirkan kemungkinan munculnya ideologi baru. Huntington (1997) pun kemudian memunculkan tesis baru bahwa sumber utama konflik di dunia pascaPerang Dingin bukan lagi ideologi atau ekonomi. Budayalah yang akan menjadi faktor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan. Suatu benturan antarperadaban.
Sumber Bacaan:
Bealy, Frank, 1999, The Blackwell Dictionary of Political Science, Blackwell Publishers, Massachusetts.
Brzezinski, Zbigniew, 1992 (cet 2), Kegagalan Besar: Muncul dan Runtuhnya Komunisme dalam Abad Kedua Puluh (terj: Tjun Surjaman), Rosda Karya, Bandung.
Fukuyama, Francis, 1992, The End of History and the Last Man, Avon Books, New York.
Giddens, Anthony, 1999, The Third Way (terj: Ketut A Mahardika), Gramedia, Jakarta.
Heywood, Andrew, 1998 (2nd edition), Political Ideologies: an Introduction, MacMillan Press Ltd, London.
Huntington, Samuel P, 1997, The Clash of Civilizations: Remaking of World Order, Touchstone, New York.
Larrain, Jorge, 1984, The Concept of Ideology, Hutcinson & Co (publishers) Ltd, London.
Mannheim, Karl, 1998 (cet. 3), Ideologi dan Utopia (terj: F Budi Hardiman), Kanisius, Yogyakarta.
Pertanyaan di atas bukan merupakan suatu pertanyaan yang dapat dijawab secara gampang. Jorge Larrain (1984), misalnya, menyebut bahwa ideologi barangkali merupakan satu dari sekian konsep dalam ilmu-ilmu sosial yang mengundang penafsiran yang berlainan dan sulit untuk dipahami. Selain karena perbedaan pandangan di antara para pemikir yang menyuguhkan gagasan tentang ideologi, persoalan ini juga dipengaruhi oleh faktor yang lebih bersifat politis. Yaitu bahwa di antara masing-masing pengusung ideologi ada upaya untuk menempelkan stigma terhadap ideologi yang berlawanan. Para pengusung liberalisme, misalnya, memandang komunisme sebagai ideologi (secara negatif) sehingga mereka enggan untuk disejajarkan dengan para pengusung komunisme – demikian pula sebaliknya.
Antoine Destutt de Tracy (1754-1836) banyak disebut sebagai orang yang pada awalnya memopulerkan istilah ini pada 1796. de Tracy memaknai idéologie sebagai “ilmu tentang gagasan”, suatu idea-ology. Dia percaya bahwa mengupas akar suatu gagasan secara objektif adalah sesuatu yang mungkin, hal inilah yang hendak dilakukannya dengan idéologie tersebut. Jika gagasan ini berkembang, niscaya ideologi akan menjadi ‘ratu ilmu-ilmu’ – mengingat bahwa semua penyelidikan dalam ilmu pengetahuan berbasiskan pada gagasan (ide). Pengembangan ideologi sebagai ‘ilmu tentang gagasan’ secara sistematis dikemukakan oleh de Tracy melalui empat seri bukunya berjudul Elements of Ideology yang diterbitkan antara 1801 dan 1815.
Dari sini kita dapat menarik suatu pertanyaan tentang hambatan-hambatan yang menghalangi kemunculan suatu pengetahuan yang secara objektif benar. Langkah ini akan membawa kita kepada gagasan Francis Bacon (1561-1626). Bacon berpandangan bahwa dalam upaya untuk memperoleh pengetahuan, orang sering bertolak dari rasionalisasi yang kurang kuat sebagai dasar. Hasilnya, kemudian, hanyalah anggapan yang gegabah yang secara sepihak dimengerti sebagai pengetahuan yang benar. Agar terhindar dari kekeliruan yang demikian, menurut Bacon, orang harus melepaskan diri dari godaan ideologi. Bacon adalah seorang yang anti-idola dalam konteks di atas. Pada masa berikutnya, pengaruh gagasannya dapat dirunut dalam pemikiran filsafat abad ke- 17 dan ke-18 – terutama dalam empirisme dan positivisme.
Dalam kehidupan politik penggunaan istilah ideologi tersebut menjadi bergeser dan semakin kompleks. Napoleon Bonaparte (1769-1821), yang memerintah Prancis setelah keberhasilan kudeta pada 1799, memberi konotasi yang negatif terhadap ideologi. Napoleon yang memerintah secara lalim, tidak dapat menerima penentangan dari kawan-kawannya atas perilaku kekuasaannya. Dalam arti yang merendahkan, Napoleon menyebut mereka sebagai ‘ideologists’; para ideolog. Para ideolog itu adalah intelektual-intelektual yang tidak realistis dan doktriner, mereka tidak paham praktik politik – demikian kata Napoleon.
Kemunculan ideologi sebagai salah satu istilah kunci dalam politik dapat dirunut dari tulisan Karl Marx (1818-1883), terutama dari salah satu karya awalnya The German Ideology yang diterbitkan pada 1846. Dalam pandangan Marx, ideologi merupakan manifestasi kekuasaan kelas yang berkuasa. Ideologi digunakan untuk menyamarkan praktik eksploitasi yang dilakukan oleh kelas penguasa atas kelas proletar (pekerja), sehingga kelas proletar gagal untuk menyadari bahwa sesungguhnya mereka telah ditindas. Marx sendiri memandang gagasannya sebagai pemikiran ilmiah (scientific), sebab ia disusun secara akurat untuk menelanjangi bekerjanya sejarah dan masyarakat.
Jika Marx memandang liberalisme dan konservatisme sebagai ideologi, sebaliknya golongan liberal menyebut fasisme dan komunisme sebagai ideologi sembari menolak penyebutan yang sama untuk gagasan kebebasan yang mereka anut. Pendeknya, mereka emoh dengan sebutan ideologi yang dianggap memiliki konotasi negatif. Sampai di sini penggunaan istilah ideologi menjadi semakin rumit.
Frank Bealy (1999) menyebut empat macam konotasi yang merujuk pada penggunaan istilah ideologi secara berbeda. Pertama, ideologi berarti sistem pemikiran universal yang menjelaskan kondisi manusia, suatu teori tentang proses sejarah yang secara pasti akan mengarah pada masa depan yang lebih baik. Dalam pengertian ini, kita mungkin akrab dengan istilah fasisme dan komunisme. Kedua, ideologi kadang digunakan untuk menjelaskan sistem kepercayaan individu-individu. Suatu ‘mind-sets’, yang sering dipersamakan dengan pandangan tentang dunia. Ketiga, ialah apa yang dipergunakan oleh sosiolog asal Jerman Karl Mannheim. Mannheim berpendapat bahwa orang akan dipengaruhi oleh bias lingkungan sosial dan budaya serta kepentingan mereka sendiri. Kelompok berkuasa dapat terserap ke dalam kepentingan mereka sendiri sehingga mereka tidak mampu membuat suatu keputusan rasional. Mannheim menyebut ilusi semacam ini sebagai ideologi. Keempat, ideologi merupakan suatu kumpulan gagasan, suatu kelompok konsep. Penggunaan ini relatif longgar menyangkut pandangan hidup, suatu perasaan tentang budaya, masyarakat, dan politik. Akibatnya, bukan hanya konservatisme atau liberalisme saja yang dipandang sebagai ideologi, demokrasi pun akan dikelompokkan dalam kategori yang sama.
Sejak 1960an ideologi memperoleh pengakuan luas dan disesuaikan dengan kebutuhan analisis sosial dan politik, sehingga ideologi menjadi konsep yang relatif netral dan objektif. Ideologi dapat dilekatkan pada berbagai ‘isme’, seperti, sosialisme, libertarianisme, anarkisme, dan sebagainya. Suatu ideologi politik, pada dasarnya, menekankan bagaimana mengalokasikan kekuasaan dan untuk tujuan apa kekuasaan itu sepatutnya digunakan. Ia berintikan seperangkat ideal, prinsip, doktrin, lembaga, kelas, serta menjelaskan bagaimana masyarakat seharusnya berjalan dan menawarkan suatu bentuk politik dan budaya tertentu sebagai dasar tatanan sosial. Dalam kerangka ini, ideologi dapat dimaknai sebagai sistem pemikiran yang berorientasi pada tindakan.
Ragam Ideologi Politik
Menetapkan macam-macam ideologi berdasarkan suatu basis pandangan tertentu dapat menyesatkan. Seringkali ideologi merupakan suatu sistem gagasan yang kompleks, melingkupi areal kehidupan yang luas. Itulah sebabnya basis pandangan suatu ideologi kadang bersinggungan dengan basis pandangan ideologi yang lain. Namun, perbedaan di antara keduanya jelas ada – meski perbedaan itu tidak bersifat menyeluruh.
Di bawah ini adalah pengelompokan sederhana berbagai ideologi yang pernah hidup dalam sejarah manusia. Pengelompokan ini, tentu saja, tidak bisa secara tepat menggambarkan apa yang sesungguhnya menjadi hakikat ideologi tertentu. Tetapi, pengelompokan ini dapat membantu sebagai pengantar kepada pemahaman yang lebih lanjut.
1) Ideologi yang menekankan perjuangan kelas:
• Sosialisme,
• Komunisme,
• Marxisme.
2) Ideologi yang menekankan kebebasan pribadi:
• Liberalisme,
• Libertarianisme.
3) Ideologi yang menekankan kebersamaan:
• Sosialisme,
• Sosialdemokrasi,
• Komunisme,
• Populisme.
4) Ideologi yang menekankan kesukuan atau kebangsaan:
• Nasionalisme,
• Regionalisme,
• Fasisme,
• Nazisme,
• Rasisme.
5) Ideologi yang menekankan tradisi:
• Konservatisme.
6) Ideologi yang menekankan isu pokok tertentu:
• Feminisme (perempuan),
• Maskulinisme (lelaki),
• Ekologisme (lingkungan hidup).
Selanjutnya, baiklah untuk dikemukakan gagasan-gagasan pokok yang menjadi ciri beberapa ideologi. Gagasan-gagasan penting dalam liberalisme adalah hal-hal tentang pribadi, kebebasan, nalar, keadilan, dan toleransi. Kontras dengan liberalisme, sosialisme menonjolkan gagasan-gagasan tentang komunitas, kesetaraan, kerjasama, pemenuhan kebutuhan, dan kepemilikan bersama. Sementara anarkisme yang merupakan pengusung ideologi anti-negara mendasarkan pada gagasan-gagasan tatanan alami, anti-negara, dan kebebasan ekonomi. Ideologi yang juga ekstrem adalah fasisme yang mendasarkan pada gagasan-gagasan nasionalisme yang militan, kepemimpinan dan elitisme, perjuangan, dan anti-rasionalisme.
Secara sederhana perbedaan pandangan di antara ideologi-ideologi politik dapat diuraikan sebagai berikut.
Tentang Kebebasan
• Kaum liberal memprioritaskan kebasan sebagai nilai yang tertinggi bagi setiap pribadi.
• Kaum konservatif menekankan pada tanggung jawab dan memandang kebebasan negatif sebagai ancaman bagi tatanan masyarakat.
• Kaum sosialis umumnya memandang kebebasan secara positif sebagai langkah menuju pemenuhan diri secara mandiri.
• Kaum anarkis menganggap kebebasan sebagai nilai mutlak yang tidak mungkin didamaikan dengan kewenangan politik dalam bentuk apa pun.
• Kaum fasis menolak segala bentuk kebebasan pribadi dan menganggapnya sebagai omong kosong.
Tentang Masyarakat
• Kaum liberal memandang masyarakat bukan sebagai suatu kesatuan pada dirinya sendiri, melainkan sebagai sekumpulan individu.
• Kaum konservatif memandang masyarakat sebagai suatu organisme, sebuah kesatuan yang diikat oleh tradisi, kewenangan, dan moralitas bersama.
• Kaum sosialis memahami masyarakat dalam arti kekuatan kelas yang tidak setara, dengan keberjarakan dalam hal hak milik dan ekonomi.
• Kaum anarkis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh ketiadaan regulasi dan harmoni yang alami.
• Kaum fasis menganggap masyarakat sebagai kesatuan organik yang menyeluruh, kebersamaan lebih diakui ketimbang keberadaan individu-individu.
Tentang Kesetaraan
• Kaum liberal percaya bahwa orang dilahirkan setara, dalam arti bahwa mereka memiliki nilai moral yang setara.
• Kaum konservatif memandang bahwa secara alami masyarakat itu hirarkis, dengan demikian penghapusan ketidaksetaraan tak akan terwujud.
• Kaum sosialis memandang kesetaraan sebagai nilai yang mendasar untuk memastikan kohesi sosial dan persaudaraan.
• Kaum anarkis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh ketiadaan regulasi dan harmoni yang alami.
• Kaum fasis percaya bahwa kehidupan manusia ditandai oleh ketidaksamaan yang radikal baik antara pemimpin dan yang dipimpin maupun antarnegara/ras.
Berakhirnya Ideologi dan Berakhirnya Sejarah (?)
Pergulatan politik – terutama di Eropa dan Amerika – tidak bisa dilepaskan dari pertarungan politik berbasis ideologi. Kita dapat merunut hal ini dari kejadian-kejadian penting sebelum dan sesudah dua Perang Dunia.
Menggejalanya ketidakpastian sosial dan politik yang melanda Eropa pascaPerang Dunia I (1914-1918) menjadi pertanda kelahiran fasisme, terutama di Itali dan Jerman. Patrotisme yang menyala-nyala a la Mussolini dan Hitler itulah yang antara lain menjadi biang gejolak perang di seantero jagad. Keterlibatan kekuatan fasis Asia, yaitu Jepang, semakin memperbesar eskalasi perang hingga ke wilayah Asia-Pasifik. Kita tahu, kemudian, setelah berkecamuk sejak 1939, Perang Dunia II berakhir dengan tragis setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat pada 1945.
Berakhirnya kejayaan fasisme kemudian diikuti oleh naiknya dua kekuatan utama pemenang perang, yaitu Amerika Serikat yang mengusung liberalisme dan Uni Soviet yang mengusung komunisme. Uniknya, dua kekuatan yang bahu-membahu menggempur poros fasis ini justru kemudian berseteru sesudah mereka memenangi perang. Inilah suatu era yang disebut sebagai era Perang Dingin. Era yang tidak diwarnai oleh kecamuk perang yang dahsyat (sebagaimana Perang Dunia I dan II), tetapi diliputi oleh ketegangan yang terus menerus akibat perseteruan ideologis.
Pada 1960 Daniel Bell, seorang sosiolog dari Universitas Harvard, melemparkan sinyalemen yang mengejutkan melalui bukunya The End of Ideology. Pemikiran Bell didasarkan pada kenyataan bahwa setelah Perang Dunia II – terutama di Barat – politik diwarnai oleh kesepahaman umum di antara partai-partai politik besar dan tiadanya perdebatan atau pemilahan ideologis yang jelas. Ketidaksepahaman di antara partai-partai hanya menyangkut cara terbaik untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan materi. Dengan demikian politik telah direduksi dan berada di bawah persoalan ekonomi. Bagi Bell, ideologi pun kemudian menjadi tidak lagi relevan.
Gagasan Bell mengundang pertanyaan besar. Di Barat ideologi-ideologi besar, seperti liberalisme, sosialisme, dan konservatisme dalam bentuk klasiknya memang telah mengalami kemunduran. Tetapi, ideologi-ideologi itu berupaya untuk memoderasi diri sesuai dengan tuntutan masa. Setidaknya, terdapat kesepakatan umum masyarakat Barat untuk menerima demokrasi sosial sebagai bentuk ideologi baru. Tetapi, lagi-lagi persoalan krisis ekonomi menumbuhkan kesadaran baru. Pada 1970an berkembang neo-liberalisme yang mengedepankan gagasan ekonomi privat dan nilai-nilai keluarga. Ideologi ini pun kini memperoleh gugatan dari berbagai kalangan mengingat dampak negatif yang dihasilkannya. Yaitu antara lain melebarnya kesenjangan antara kalangan berpunya dan yang miskin, terpinggirkannya kepentingan publik, dan kerusakan lingkungan. Kritisisme inilah yang antara lain melahirkan Jalan Ketiga yang merupakan bentuk mutakhir dari demokrasi sosial.
Pada 1989, dunia juga dikejutkan oleh runtuhnya Tembok Berlin dan terpecahnya Uni Soviet menjadi beberapa negara baru merdeka. Keruntuhan ini dianggap oleh banyak kalangan sebagai kebangkrutan ideologi komunis. Zbigniew Brzezinski (1992) menyebut bahwa glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) yang digagas oleh Gorbachev telah meruntuhkan bangunan gagasan Leninisme yang berpijak terutama pada totalitarianisme dan teror. Pemusatan kekuasaan politik di tangan segelintir elite partai membuat birokrasi mampu mengendalikan hampir seluruh struktur masyarakat. Sementara, teror menggejala pada digunakannya kekerasan terorganisasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Pembaruan politik yang dilakukan kemudian meruntuhkan basis keabsahan politik rezim totaliter, sebab pembaruan tersebut kemudian memberi ruang yang lebih leluasa bagi partisipasi sosial (meski baru pada tataran yang minimal).
Melihat kenyataan ini, Francis Fukuyama (1992) dengan optimis menyebut era ini sebagai the end of history. Setelah bangkrutnya fasisme dan runtuhnya komunisme, kata Fukuyama, kini demokrasi liberal muncul sebagai pemenang di arena politik. Optimisme Fukuyama ini dipandang secara skeptis oleh Samuel Huntington. Bagi Huntington penerimaan universal demokrasi tidak serta merta menghindarkan konflik di dalam liberalisme, selain itu kemenangan satu ideologi tidak menyingkirkan kemungkinan munculnya ideologi baru. Huntington (1997) pun kemudian memunculkan tesis baru bahwa sumber utama konflik di dunia pascaPerang Dingin bukan lagi ideologi atau ekonomi. Budayalah yang akan menjadi faktor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan. Suatu benturan antarperadaban.
Sumber Bacaan:
Bealy, Frank, 1999, The Blackwell Dictionary of Political Science, Blackwell Publishers, Massachusetts.
Brzezinski, Zbigniew, 1992 (cet 2), Kegagalan Besar: Muncul dan Runtuhnya Komunisme dalam Abad Kedua Puluh (terj: Tjun Surjaman), Rosda Karya, Bandung.
Fukuyama, Francis, 1992, The End of History and the Last Man, Avon Books, New York.
Giddens, Anthony, 1999, The Third Way (terj: Ketut A Mahardika), Gramedia, Jakarta.
Heywood, Andrew, 1998 (2nd edition), Political Ideologies: an Introduction, MacMillan Press Ltd, London.
Huntington, Samuel P, 1997, The Clash of Civilizations: Remaking of World Order, Touchstone, New York.
Larrain, Jorge, 1984, The Concept of Ideology, Hutcinson & Co (publishers) Ltd, London.
Mannheim, Karl, 1998 (cet. 3), Ideologi dan Utopia (terj: F Budi Hardiman), Kanisius, Yogyakarta.
Rabu, 06 Oktober 2010
Definisi Masalah Sosial dan Jenis Masalah Sosial Dalam Masyarakat
Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 jenis faktor, yakni antara lain :
1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
Memang di dunia ini tidak ada satu mahluk pun yang sempurna dari segala sisi kehidupannya.
Di negara-negara miskin dan yang sedang membangun, pasangan yang baru saja menikah, biasanya langsung terjun dalam proyek mempunyai anak, karena memang itulah tujuan pernikahan bagi mereka, membentuk sebuah keluarga.
Di sisi lain, banyak anak-anak perempuan umur belasan tahun yang hamil akibat dari kelengahan mereka yang tidak menggunakan proteksi ketika berhubungan intim dengan lawan jenisnya. Di mana pada kenyataannya sebagian besar dari mereka tidak siap dengan kedatangan bayi tersebut.
Mereka akhirnya berakhir di klinik-klinik aborsi yang banyak direkomendasikan dari mulut ke mulut. Dan yang lebih parah lagi, ada juga yang tega meninggalkan bayi-bayi itu di tempat sampah, di jalanan. Sebagian bayi-bayi buangan beruntung ditemukan orang dan segera diselamatkan. Sebagian lain meninggal karena dehidrasi, kedinginan dan timbulnya komplikasi-komplikasi lainnya yang tak dapat dihindari ketika bayi itu ditinggal sendirian di jalanan.
Di sisi yang lain, di negara-negara maju, banyak pasangan yang setelah hidup bersama atau menikah, lebih memilih untuk menunggu dulu sampai akhirnya mereka merasa siap menjadi orang tua yang bertanggung jawab. Walaupun sebagian besar tidak mempunyai anak karena alasan ekonomi dan atau prinsip-prinsip yang mereka pegang.
Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 jenis faktor, yakni antara lain :
1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
Memang di dunia ini tidak ada satu mahluk pun yang sempurna dari segala sisi kehidupannya.
Di negara-negara miskin dan yang sedang membangun, pasangan yang baru saja menikah, biasanya langsung terjun dalam proyek mempunyai anak, karena memang itulah tujuan pernikahan bagi mereka, membentuk sebuah keluarga.
Di sisi lain, banyak anak-anak perempuan umur belasan tahun yang hamil akibat dari kelengahan mereka yang tidak menggunakan proteksi ketika berhubungan intim dengan lawan jenisnya. Di mana pada kenyataannya sebagian besar dari mereka tidak siap dengan kedatangan bayi tersebut.
Mereka akhirnya berakhir di klinik-klinik aborsi yang banyak direkomendasikan dari mulut ke mulut. Dan yang lebih parah lagi, ada juga yang tega meninggalkan bayi-bayi itu di tempat sampah, di jalanan. Sebagian bayi-bayi buangan beruntung ditemukan orang dan segera diselamatkan. Sebagian lain meninggal karena dehidrasi, kedinginan dan timbulnya komplikasi-komplikasi lainnya yang tak dapat dihindari ketika bayi itu ditinggal sendirian di jalanan.
Di sisi yang lain, di negara-negara maju, banyak pasangan yang setelah hidup bersama atau menikah, lebih memilih untuk menunggu dulu sampai akhirnya mereka merasa siap menjadi orang tua yang bertanggung jawab. Walaupun sebagian besar tidak mempunyai anak karena alasan ekonomi dan atau prinsip-prinsip yang mereka pegang.
TEORI KOMUNIKASI MASSA
Komunikasi Massa (Mass Communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (Surat Kabar, Majalah) atau elektronik (radio, televisi) yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar dibanyak tempat.
1. Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)
Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.
Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).
Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.
2. Uses, Gratifications and Depedency
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :
Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).
Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).
Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :
Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.
3. Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap Anda terhadap media –kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.
4. Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?
Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.
1. Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)
Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.
Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).
Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.
2. Uses, Gratifications and Depedency
Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :
Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).
Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).
Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :
Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).
Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.
3. Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)
Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap Anda terhadap media –kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.
4. Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?
Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.
Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.
Tatanan, Pengendalian, dan Institusi Sosial
Tatanan Sosial
Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Prasyarat- prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial order). Konsep tatanan sosial merupakan konsep dasar yang harus dipahami dengan baik oleh mereka yang mempelajari sosiologi. Karena konsep tatanan sosial ini terkait erat dengan konsep-konsep dasar lainnya. Apabila Anda memahami dengan baik konsep-konsep dasar ini, maka Anda akan dapat menganalisis fenomena sosial dengan baik.
Prinsip yang bisa kita ambil adalah adanya pengaturan dan ketertataan dari suatu lingkungan sosial. Atas dasar pemenuhan kebutuhan, individu-individu membentuk lingkungan sosial tertentu, di mana individu-individu tersebut saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosialnya yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai. Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosial yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai diistilahkan dengan tatanan sosial (social order). Demikian juga dengan tatanan sosial. Semua persyaratan, antara lain adanya sejumlah individu, interaksi, status dan peranan, nilai dan norma serta proses harus terpenuhi sehingga tatanan sosial tersebut bisa tetap berlangsung dan terpelihara.
Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya pengendalian sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.
Berikut ini adalah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sosial masyarakat :
1. Pengendalian Lisan (Pengendalian Sosial Persuasif)
Pengendalian lisan diberikan dengan menggunakan bahasa lisan guna mengajak anggota kelompok sosial untuk mengikuti peraturan yang berlaku.
2. Pengendalian Simbolik (Pengendalian Sosial Persuasif)
Pengendalian simbolik merupakan pengendalian yang dilakukan dengan melalui gambar, tulisan, iklan, dan lain-lain. Contoh : Spanduk, poster, Rambu Lalu Lintas, dll.
3. Pengendalian Kekerasan (Pengendalian Koersif)
Pengendalian melalui cara-cara kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat si pelanggar jera dan membuatnya tidak berani melakukan kesalahan yang sama. Contoh seperti main hakim sendiri.
Institusi Sosial
Elemen yang lain dari struktur sosial adalah institusi sosial. Institusi sosial berkaitan erat dengan upaya individu untuk memenuhi kebutuhannya, di mana untuk itu individu berusaha membentuk dan mengembangkan serangkaian hubungan sosial dengan individu lainnya. Serangkaian hubungan sosial tersebut terlaksana menurut pola-pola tertentu. Pola resmi dari suatu hubungan sosial ini terjadi di dalam suatu sistem yang disebut dengan sistem institusi sosial.
Judson R. Landis (1986: 255) mendefinisikan institusi sosial sebagai norma-norma, aturan-aturan, dan pola-pola organisasi yang dikembangkan di sekitar kebutuhan-kebutuhan atau masalah-masalah pokok yang terkait dengan pengalaman masyarakat. Dari definisi ini maka bisa kita pahami bahwa institusi sosial merujuk pada upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan atau untuk mengatasi masalah. Dalam rangka memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah tersebut, maka kita jumpai banyak sekali institusi sosial dalam masyarakat. Besar kecilnya sosial yang ada di masyarakat sangat tergantung pada sederhana dan kompleksnya kebutuhan atau masalah dari masyarakat tersebut. Para sosiolog telah berusaha membuat penggolongan institusi sosial yang ada di masyarakat atas dasar fungsi dari institusi sosial tersebut.
Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Prasyarat- prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial order). Konsep tatanan sosial merupakan konsep dasar yang harus dipahami dengan baik oleh mereka yang mempelajari sosiologi. Karena konsep tatanan sosial ini terkait erat dengan konsep-konsep dasar lainnya. Apabila Anda memahami dengan baik konsep-konsep dasar ini, maka Anda akan dapat menganalisis fenomena sosial dengan baik.
Prinsip yang bisa kita ambil adalah adanya pengaturan dan ketertataan dari suatu lingkungan sosial. Atas dasar pemenuhan kebutuhan, individu-individu membentuk lingkungan sosial tertentu, di mana individu-individu tersebut saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosialnya yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai. Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosial yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai diistilahkan dengan tatanan sosial (social order). Demikian juga dengan tatanan sosial. Semua persyaratan, antara lain adanya sejumlah individu, interaksi, status dan peranan, nilai dan norma serta proses harus terpenuhi sehingga tatanan sosial tersebut bisa tetap berlangsung dan terpelihara.
Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya pengendalian sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.
Berikut ini adalah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sosial masyarakat :
1. Pengendalian Lisan (Pengendalian Sosial Persuasif)
Pengendalian lisan diberikan dengan menggunakan bahasa lisan guna mengajak anggota kelompok sosial untuk mengikuti peraturan yang berlaku.
2. Pengendalian Simbolik (Pengendalian Sosial Persuasif)
Pengendalian simbolik merupakan pengendalian yang dilakukan dengan melalui gambar, tulisan, iklan, dan lain-lain. Contoh : Spanduk, poster, Rambu Lalu Lintas, dll.
3. Pengendalian Kekerasan (Pengendalian Koersif)
Pengendalian melalui cara-cara kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat si pelanggar jera dan membuatnya tidak berani melakukan kesalahan yang sama. Contoh seperti main hakim sendiri.
Institusi Sosial
Elemen yang lain dari struktur sosial adalah institusi sosial. Institusi sosial berkaitan erat dengan upaya individu untuk memenuhi kebutuhannya, di mana untuk itu individu berusaha membentuk dan mengembangkan serangkaian hubungan sosial dengan individu lainnya. Serangkaian hubungan sosial tersebut terlaksana menurut pola-pola tertentu. Pola resmi dari suatu hubungan sosial ini terjadi di dalam suatu sistem yang disebut dengan sistem institusi sosial.
Judson R. Landis (1986: 255) mendefinisikan institusi sosial sebagai norma-norma, aturan-aturan, dan pola-pola organisasi yang dikembangkan di sekitar kebutuhan-kebutuhan atau masalah-masalah pokok yang terkait dengan pengalaman masyarakat. Dari definisi ini maka bisa kita pahami bahwa institusi sosial merujuk pada upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan atau untuk mengatasi masalah. Dalam rangka memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah tersebut, maka kita jumpai banyak sekali institusi sosial dalam masyarakat. Besar kecilnya sosial yang ada di masyarakat sangat tergantung pada sederhana dan kompleksnya kebutuhan atau masalah dari masyarakat tersebut. Para sosiolog telah berusaha membuat penggolongan institusi sosial yang ada di masyarakat atas dasar fungsi dari institusi sosial tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)